Sabtu, 24 Januari 2009

E-Government

Apa itu e-Gov
Secara umum dapat dikatakan bahwa e-Gov tersebut adalah suatu aplikasi berbasis komputer dan Internet yang digunakan untuk meningkatkan hubungan dan layanan pemerintah kepada warga masyarakatnya atau yang sering disebut dengan istilah G2C (Government to Citizen). Di samping itu juga hubungan antara pemerintah dengan perusahaan yang sering disebut G2B (Government to Business). Bahkan terhadap pemerintah daerah atau negara lain yang sering disebut G2G (Government to Government) sebagai mitranya.
Pembangunan hubungan yang lebih komunikatif, kemudahan layanan administratif dan transaksi serta penyajian informasi inilah yang menjadi dasar pembangunan aplikasi e-Gov tersebut.
Selain itu, ketersediaan teknologi informasi dewasa ini yang mampu untuk mengimplementasikan konsep e-Gov tersebut telah memberi harapan yang lebih besar untuk terciptanya sistem itu.

Manfaat e-Gov
Pembanguan sistem e-Gov ini diharapkan akan memberikan sejumlah manfaat. Pertama, masyarakat, kalangan investor dan pebisnis dapat memperoleh informasi-informasi penting dengan mudah dan cepat tanpa melewati jenjang birokrasi yang panjang.
Kedua, meningkatkan transparansi dan kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan. Selanjutnya, melalui sistem e-Gov ini, biaya-biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah, masyarakat, investor dan pebisnis dapat dikurangi.
Sistem e-Gov ini juga memberi manfaat bagi peningkatan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, investor, pebisnis dan pemerintah daerah atau negara lain. Diharapkan dari komunikasi tersebut, mereka dapat ikut terlibat secara langsung dalam pembangunan melalui pola-pola kerja sama dan kemitraan.

Jenis Layanan e-Gov
Banyak harapan akan tersedianya berbagai macam layanan untuk aplikasi e-Gov ini. Tetapi secara umum menurut Ricardus Eko Indrajit dapat dikelompokkan dalam tiga jenis.
Pertama, jenis layanan yang bertujuan untuk penyediaan informasi seperti visi dan misi pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan, prosedur pendirian usaha, berbagai data kependudukan, pertanian dan perdagangan. Informasi tentang tender proyek, sistem pendidikan di sekolah negeri, hasil pemilu dan lain sebagainya.
Untuk jenis layanan yang pertama ini, pembangunan aplikasi e-Gov sangat bertumpu pada penciptaan halaman Web yang menarik, ergonomic dan komunikatif.
Kedua, jenis layanan yang bersifat komunikasi interaktif dua arah, seperti konsultasi perpajakan, diskusi tentang rencangan undang-undang dan lain sebagainya. Untuk jenis layanan ini, maka aplikasi e-Gov perlu kelengkapan fasilitas seperti video konferensi, atau aplikasi chatting dan e-mail.
Ketiga, jenis layanan yang bersifat transaksi, seperti permohonan KTP, IMB, pembayaran wajib pajak, PBB, listrik, air, telepon secara on-line dan sebagainya. Untuk layanan ini, maka aplikasi e-Gov juga harus dilengkapi dengan sistem informasi on-line yang mendukung pencatatan setiap transaksi yang terjadi.

Infrastuktur e-Gov
Saat ini infrastruktur teknis dinilai telah mencukupi paling tidak untuk membangun sistem e-Gov yang sederhana. Ketersediaan komputer Pentium 4 dengan kecepatan mencapai 3,2 GHz dengan sistem jaringannya dapat memberikan dukungan yang cukup memadahi.
Apalagi teknologi media transmisi terus berkembang. Dimana kini dapat dijumpai jaringan kabel untuk internal lingkungan pemerintahan, penggunaan jalur telepon, VSAT, dan gelombang radio untuk melayani akses ke lingkungan Internet dan aplikasi e-Gov tersebut.
Dari segi software, ketersediaan aplikasi Web dan database untuk menciptakan sistem e-Gov yang interaktif juga sudah tersedia, bahkan sangat bervariasi.

Keterampilan dan komitmen
e-Gov bukan sekedar komputerisasi informasi dan kegiatan administrasi pemerintahan semata. Pembangunan e-Gov tidak hanya membutuhkan infrastruktur teknis semata, melainkan juga menuntut keterampilan dan komitmen dari SDM pelaksananya.
Membangun sistem e-Gov membutuhkan keterampilan berkomunikasi yang cepat, efektif dan simpatik baik dalam penyajian informasi maupun dalam menjawab masukan-masukan yang diberikan oleh masyarakat.
Selain itu, komitmen dalam mengelola situs e-Gov tersebut, karena masyarakat tentu akan menantikan informasi-informasi terkini dari pihak pemerintah.

Kendala e-Gov
Untuk membangun e-Gov ini ada beberapa kendala. Adapun kendala teknis biasanya meliputi masalah infrastruktur. Khususnya bagi daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Di samping itu, sistem pengamanan baik secara hardware maupun software juga membutuhkan perhatian yang ekstra.
Selain itu, sejumlah kendala non teknis juga menghadang lahirnya sistem e-Gov ini. Di samping masalah SDM, kerangka undang-undang yang akan menjadi pijakan baik secara prinsip maupun operasionalnya belum tersedia.

Direktorat Jenderal Perkebunan memperoleh penghargaan E-Government Award 2008 versi Warta Ekonomi. Instansi yang mengurus perkebunan ini memperoleh 2 (dua) penghargaan tertinggi yaitu E-Government Award 2008 Peringkat I dalam kategori aplikasi e-Government dan E-Government Award Peringkat I dalam aplikasi Website. Kedua penghargaan tersebut diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Achmad Mangga Barani, MM pada acara Penganugerahan Warta Ekonomi e-Government Award 2008 yang berlangsung Selasa malam (4/11) di Hotel Grand Hyatt-Jakarta.

Penghargaan tersebut diserahkan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, yang diwakili oleh Dirjen Aplikasi Telematika, Ir. Cahyana Ahmadjayadi. Sementara itu, Menteri Pertanian, Anton Apriyantono juga menerima penghargaan e-Government Award 2008 untuk tingkat departemen.

Menurut Pemimpin Redaksi Warta Ekonomi, Muhamad Ihsan, ajang penghargaan e-Government Award sudah dilakukan sejak tahun 2002. Waktu memulai ajang penghargaan ini, performa website dari masing-masing lembaga memainkan peran penting dalam proses penilaian, aliasnya bobotnya terbilang besar dalam penghitungan skor. Ketika itu memang masih kuat anggapan bahwa penerapan e-Government, ya membangun website, tegas Ihsan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, anggapan tersebut kian menguap. Saat ini bobot penilaian website hanya tinggal 10% dari total nilai.

Lebih lanjut dijelaskan oleh pemimpin redaksi ini, meskipun bobot website kian turun, kinerja website masih tetap digunakan untuk proses seleksi. Contohnya, jika pada website tersebut ada menu kontak, lalu kami kirimkan email ke lembaga yang bersangkutan. Jika email tidak direspon dalam kurun waktu tertentu, otomatis lembaga tersebut tidak layak menjadi peserta. Begitu pula jika website-nya tidak pernah di-update, otomatis calon peserta akan gugur.

Selain itu, sejak dua tahun lalu, warta ekonomi juga melakukan survey user (pengguna). Jika pengguna menyatakan puas dengan layanan suatu lembaga, ini akan mengangkat nilai lembaga tersebut di mata dewan juri. Begitulah ujar Ihsan, meski ajang penghargaan ini masih terbilang muda, lembaga media massa ini tak pernah berhenti melakukan perbaikan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Untuk tahun ini, dari sisi kuantitas, kami menambah satu kategori penilaian lagi, yakni untuk level Direktorat Jenderal, Sebab, di jajaran pemerintahan, banyak yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat, seperti Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak, dll.

Nah, tahun 2008 ini, Direktorat Jenderal Perkebunan ikut menjadi peserta. Dan inilah yang paling mengagetkan dan membanggakan bahwa Ditjen Perkebunan langsung menyabet dua penghargaan tertinggi, ujar pemimpin redaksi majalah ekonomi ini.

Usai sudah perhelatan e-Government Award 2008. Berikut adalah daftar pemenang di masing-masing kategori, website terbaik, dan juga penghargaan khusus.


Kategori Departemen
1. Departemen Pertanian
2. Departemen Perindustrian
3. Departemen Kelautan & Perikanan

Website terbaik: Departemen Perindustrian


Kategori Non Departemen
1. Badan Pengawas Obatan & Makanan
2. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)

Website terbaik: BATAN


Kategori Direktorat Jenderal
1. Ditjen Perkebunan
2. Ditjen Mineral, Batubara & Panas bumi
3. Ditjen Hak Kekayaan Intelektual

Website terbaik: Ditjen Perkebunan


Kategori Provinsi
1. Provinsi Jawa Timur
2. Provinsi Jawa Barat
3. Provinsi Kepulauan Riau

Website terbaik: Kalimantan Barat


Kategori Kabupaten/Kota
1. Kabupaten Jembrana
2. Kota Malang
3. Kota Surabaya

Website terbaik:
- Kota Tangerang
- Kabupaten Sleman
- Kabupaten Bantul


Penghargaan khusus implementasi e-Proc:
Kabupaten Banjar


Penghargaan khusus aplikasi unggulan:
Jembrana Smart Card


Platinum Awards untuk pemenang sebanyak 5 kali berturut-turut: Departemen Pekerjaan Umum

Jumat, 02 Januari 2009

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah salah satu bentuk sistem pemotongan dan pemungutan pajak (witholding tax) di Indonesia. Penamaan Pasal 23 iitu sendiri mengacu kepada Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukumnya. Ada tiga unsur atau syarat berlakunya PPh Pasal 23 yaitu ada pemotong pajak, ada objek pajak dan ada penerima penghasilan sebagai fihak yang dipotong pajak. Apabila ketiga unsur itu memenuhi maka pemotong pajak harus melakukan pemotongan pajak kepada penerima penghasilan atau penghasilan sebagai objek pajak yang dibayarkannya. Apabila salah satu tidak dipenuhi maka tidak berlakulah ketentuan PPh Pasal 23. Misal, pemberi penghasilannya bukan pemotong pajak atau penghasilan yang dibayarkannya bukan objek pemotongan PPh Pasal 23 atau penerima penghasilannya bukan wajib pajak.

 

Siapakah Pemotong dan Yang Dipotong PPh Pasal 23?

Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan (UU nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 dan akan diubah lagi tahun ini), pemotong PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotongan PPh Pasal 23 ini dilakukan apabila ada penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, yang dipotong PPh Pasal 23 adalah penerima penghasilan yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

Pada umumnya, Wajib Pajak Orang Pribadi bukanlah pemotong PPh Pasal 23. Namun demikian, berdasarkan Pasal 23 ayat (3) Undang-undang PPh, Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu sebagai pemotong PPh Pasal 23. Nah, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1994, Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah : 

 

  1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali  PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;

  2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut menjadi pemotong PPh Pasal 23 setelah adanya keputusan penunjukan sebagai pemotong pajak dari Kepala KPP yang bersangkutan. Setelah ada keputusan penunjukkan barulah ia bisa memotong PPh Pasal 23 itupun terbatas pada  penghasilan berupa sewa saja.

 

Objek Pemotongan, Tarif dan Sifat Pemotongan PPh Pasal 23

Pada umumnya, PPh Pasal 23 dikenakan terhadap penghasilan berupa penghasilan dari modal (dividen, bunga, royalti dan sewa)  dan jasa-jasa tertentu. Adapun besarnya tarifnya adalah sebagai berikut :

  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan.

  2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.

  3. 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk mengetahuinya.
     

Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 23

Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan daftar penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak ipotong PPh Pasal 23 yaitu :

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;

  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh;

  4. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j UU PPh;

  5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh;

  6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

  7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.”

    Bagaimana dengan tarif PPh Pasal 23 tahun 2009 nanti? Silahkan baca : Tarif PPh Pasal 23 Baru Tahun 2009

Salah satu perubahan besar yang dilakukan oleh Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru saja disetujui oleh rapat paripurna DPR adalah masalah Pajak Penghasilan Pasal 23. Kenapa saya sebut perubahan besar? Karena sistem pentarifan PPh Pasal 23 yang selama ini menggunakan perkiraan penghasilan neto (sehingga kemudian ada istilah tarif efektif) akan diganti dengan penerapan tarif langsung kepada penghasilan bruto. Berikut ini saya coba saya sarikan perubahan-perubahan pada PPh Pasal 23 yang akan berlaku pada tahun 2009 nanti.

Pemotong dan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Dalam masalah pemotong pajak ini, nampaknya tidak ada perubahan berarti yaitu tetap badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Wajib Pajak Orang Pribadi dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23. Ketentuan inipun tak mengalami perubahan.

Fihak yang dipotong PPh Pasal 23 pun tidak mengalami perubahan yaitu Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Namun demikian kita harus mengaitkan siapa yang dipotong ini dengan objeknya, apakah penghasilan yang diterima/diperolehnya tersebut objek pemotongan PPh Pasal 23 atau bukan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto  atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain” selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)

  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (tidak berubah)

  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)

  4. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j(ketentuan ini dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)

  5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah)

  6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)

  7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)

  8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi  sebagai  penyalur  pinjaman  dan/atau  pembiayaan  yang  diatur  dengan  Peraturan Menteri Keuangan(ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan bank).

Tarif PPh Pasal 23

Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :

  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

  2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.

  3. 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk mengetahuinya.

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :

  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan danbonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

  2. Dihapus

  3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

    • sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai  Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

    • imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa  konsultan,  dan jasa  lain  selain  jasa  yang  telah  dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Dari paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami perubahan berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi dihapuskan. Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1 di mana dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa ada pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.

Kalau kita cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis penghasilannya. Yang berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif 15% ini dari Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Tahun 2009 nanti kita nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada kata “perkiraan penghasilan neto” ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu  . Kita tinggal menunggu jenis “jasa lain” yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan jenis “jasa lain” ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.

Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru,Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi  100%  (seratus  persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya. Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak berNWP menjadi 4%. Ada yang punya penafsiran lain? Silahkan.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Dasar Hukum

 

a.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 254/KMK.03/2001Tentang  Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat Dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 08/PMk.03/2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 Tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat Dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya

b.    Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 523/PJ./2001 Tentang Tarif Dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22  Oleh Industri Dan Eksportir Yang Bergerak Dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, Dan Perikanan, Atas Pembelian Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri Atau Ekspor Mereka Dari Pedagang Pengumpul.sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 25/PJ/2003 Tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-523/PJ/2001  Tentang Tarif Dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta Pelaporain Pajak Penghasilan  Pasal 22 Oleh Industri Dan Eksportir Yang Bergerak Dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, Dan Perikanan, Atas Pembelian Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri Atau Ekspor Mereka Dari Pedagang Pengumpul

 

Pemungut PPh Pasal 22

 

Pemungut PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul adalah Badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Sebagai contoh perusahaan yang menjadi pemungut PPh Pasal 22 ini adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pengalengan ikan yang pembelian ikannya dilakukan dari pedagang pengumpul. Contoh lain lagi adalah perusahaan eksportir lada yang pembeliannya dilakukan dari pedagang pengumpul.

 

Penunjukkan

 

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan bagi badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dengan demikian, kewajiban melakukan pemungutan PPh Pasal 22 ini dilakukan jika Wajib Pajak telah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul.

 

Tarif PPh Pasal 22

 

Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan oleh pemungut adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Sebagai contoh, PT Kopindo yang bergerak dalam bidang industri kopi membeli bahan baku kopi dari pedagang pengumpul Tuan Ahmad dengan nilai Rp10.000.000,-. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh PT Kopindo adalah 0,5% x Rp10.000.000,- atau sama dengan Rp50.000,- sehingga jumlah uang yang diterima oleh Tuan Ahmad Rp9.950.000,-.

 

Tatacara Pemungutan dan Pembayaran

 

Dalam melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 badan usaha industri dan eksportir selaku Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga) yaitu:

·        lembar pertama      untuk penjual;

·        lembar kedua untuk disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22);

·        lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut PPh Pasal 22 pe dagang pengumpul dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

 

Pelaporan

 

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

Pajak Penghasilan Pasal 22 atau disingkat PPh Pasal 22 adalah salah satu bentuk pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh fihak lain terhadap Wajib Pajak. Pengenaan PPh Pasal 22 dikenakan terhadap kegiatan perdagangan barang. Titik pengenaannya ada yang dilakukan pada saat penjualan ada pula pada saat pembelian. Pada umumnya pengenaan PPh Pasal 22 ini dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap “menguntungkan” sehingga penjual atau pembelinya kemungkinan besar akan mengalami keuntungan dan dengan demikian, pantaslah atas Wajib Pajak tersebut dikenakan cicilan pembayaran Pajak Penghasilan.

Ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih sulit dibandingkan dengan ketentuan tentang pemotongan PPh yang lain seperti PPh Pasal 23 ataupun PPh Pasal 21. Hal ini disebabkan karena sangat bervariasinya objek, pemungut dan bahkan tarifnya. Di bawah ini saya coba ringkaskan objek, tarif dan Pemungut PPh Pasal 22 tersebut.

Pemungut dan Objek PPh Pasal 22

  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
  3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4.
  4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN  yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
  5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya didalam negeri.
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.


Tarif PPh Pasal 22

  1. Atas impor  yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;  yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang;
  2. Atas pembelian barang atau pembayaran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
  3. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
  4. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh  Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
  5. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen sebesar 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
  6. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri rokok sebesar 0,15% dari Harga Bandrol dan bersifat final.
  7. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas sebesar 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
  8. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
  9. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri otomotif sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
  10. Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:                            SPBU Swastanisasi              SPBU Pertamina
                                ————————–  —————————-
    Premium                 0,3% dari penjualan             0,25% dari penjualan
    Solar                      0,3% dari penjualan            0,25% dari penjualan
    Premix/Super TT      0,3% dari penjualan             0,25% dari penjualan
    Minyak Tanah          0,3 % dari penjualan
    Gas LPG                 0,3 % dari penjualan
    Pelumas                 0,3 % dari penjualan
      

  11. Pasal 22 yang atas pembelian bahan-bahan oleh  Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari
    harga pembelian tidak termasuk PPN

 

Dasar Hukum :

  1. Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001
  4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008
  7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-417/PJ./2001
  8. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-401/PJ./2001
  9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-529/PJ./2001
  10. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-69/PJ./1995
  11. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-01/PJ./1996
  12. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-25/PJ./2003